TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Selama ini para pedagang
kakao Indonesia hanya menggunakan acuan harga di ICE bursa New York dan
LIFFE bursa London, padahal mereka bukan negara penghasil kakao.
Produsen terbesar kakao dunia adalah Pantai Gading (Afrika), kedua Ghana
(Afrika) dan ketiga Indonesia.
Indonesia menjadi produsen kakao pertama di dunia yang memiliki
Perdagangan Kakao di Bursa Berjangka Jakarta. Sebagai produsen tentunya
para petani berharap harga kakao bisa pulih kembali setelah terjun bebas
sebanyak 40 persen dibanding April 2011.
Sejak kontrak berjangka kakao (kakao futures) di perdagangkan di
Bursa Berjangka Jakarta (Jakarta Futures Exchange) pada 15 Desember
lalu, harga kakao dunia di bursa New York (New York Board of Trade –
ICE) telah mengalami kenaikkan harga sebanyak 25 persen dari level
terendah 2.000 dolar AS/ ton ke 2.500 dolar AS pada bulan Februari 2012.
Sejak bulan Maret hingga May harga kakao kembali terkoreksi dan masih
bertahan diatas 2.300 dolar AS/ ton.
Renji Betari, Analis Perdagangan IPASAR Pasar Fisik Komoditas
mengatakan, kontrak berjangka kakao di Jakarta Futures Exchange
diciptakan untuk memberikan harga yang wajar serta volatilitas minimum
dengan batas perubahan harga harian sebesar Rp 1000 ke atas/ ke bawah
sehingga para pedagang kakao dapat membuka kontrak jual/ beli dengan
resiko yang kecil dibanding bursa luar
"Penguatan harga ini disebabkan posisi Indonesia sebagai produsen
kakao terbesar ketiga di dunia kini telah memiliki pasar/ bursa sendiri
sehingga pedagang lokal tidak perlu lagi hanya mengacu pada harga di
bursa New York atau London, dimana mereka bukan negara penghasil kakao,
melainkan konsumen dan pengolah biji kakao," ujar Renji dalam rilis
persnya, Minggu (13/5/2012).
Menurut para petani dan pengolah lahan yang berasal dari Palu,
Mamuju, Ambon, Lampung dan Sumatera Utara, harga kakao yang wajar agar
dapat mengimbangi biaya produksi adalah 2.500 - 2.800 dolar AS/ ton atau
sekitar Rp 23.000 hingga Rp 25.000 per kilogram.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar